Rabu, 13 Maret 2013

Cinta Dibalik Jeruji Besi



Jatuh cinta itu senut-senut rasanya. Tak enak tidur, tak enak makan, kebayang-bayang pacar melulu, dan parahnya bisa sampai mengigau dalam keadaan sadar sekalipun. Seperti rusdi, teman saya yang satu ini. Bosan saya mendengar ceritanya, tiap kali nongkrong sama dia, mesti ceritanya itu melulu, cerita yang monoton dan stereotip di kupingku. Seandainya saya nggak butuh rokoknya rusdi, jelas sudah saya tinggal pergi. Ibaratnya barterlah, saya butuh rokoknya rusdi sedangkan dia butuh teman mendengarkan sajak-sajak cintanya.
Saya pikir, rusdi ini nekat betul macarin marni, anak perawannya mustopa yang terkenal galak itu. Seantero kampung pasti kenal kalau mustopa itu galaknya minta ampun. Tapi, biarpun begitu, marni itu memang manis dan aduhai. Saya akui itu. Sampai-sampai rusdi rela bela-belain maen petak umpet sama bapaknya marni. Nah, sayalah yang selalu jadi penjaganya kalau mereka lagi pacaran. Tiap kali rusdi dan marni janjian, sayalah yang selalu disuruh mengawasi, tetapi tentunya sebungkus rokok kretek sudah terselip dikantung baju saya. Di deket kandang kambing pak karko itulah, tempat yang selalu dijadikan buat ketemuan dua sejoli yang dimabuk asmara itu, dan dari jarak 10 meter itulah saya yang mengawasinya kalau-kalau ada orang atau sesiapa saja yang lewat maka saya segera bertepuk tangan sebagai isyarat. Tidak-apa-apa, sungguh saya ikhlas melakukannya, yang terpenting sebungkus rokok kretek terselip di kantung baju saya.
Rupanya kisah cinta rusdi dan marni tidak berjalan mulus. Permainan petak umpet mereka terendus bapaknya marni. Alih-alih, tanpa sepengetahuan dua sejoli itu, mustopa punya rencana busuk. Dia ingin memisahkan dua sejoli itu karena memang sedari dulu mustopa punya keniatan menjodohkan marni dengan pilihannya sendiri, macam jaman situ nurbaya.  Maka ketika rusdi pulang dari sawah, dia dihadang beberapa pemuda suruhan mustopa. Rusdi dihajar sampai babak tanpa perlawanan. Sorenya dengan muka benyok-benyok dia datang mengadu kepada saya. Melihat keadaanya yang menyedihkan saya pun turut prihatin.
      Sementara itu, marni dirumahnya, diultimatum sama bapaknya, nggak boleh keluar kemanapun. Ini benar-benar membuat rusdi sangat frustasi, saya juga ikut frustasi, semenjak ada dinding pemisah antara rusdi dan marni, tak ada lagi sebungkus rokok terselip di kantung baju saya . Hadeuh. Dinding pemisah itu rupanya membuat kelakuan Rusdi tiap hari persis orang sinting. Lantas suatu hari, entah setan mana yang membisiki kedua anak manusia yang sedang dirundung asmara itu, sehingga keduanya kabur tak jelas arah rimbanya. maka ramailah orang-orang sekampung. Mustopa kalang kabut. Kelewang dijinjing kemana-mana, kali saja ketemu rusdi, mungkin di cincangnya sampai nggak bersisa. Walhasil selang 4 hari, marni pulang, mewek-mewek pula. Bapaknya tetep marah dan menghardik habis-habisan. Marni diintrograsi 3 hari 3 malam. Setelah mendapat keterangan yang puas lantas  mustopa menyimpulkan kalau anaknya telah diculik rusdi. Maka ramai lagi orang-orang sekampung.  Desas desus itu ternyata sampai juga di telinga polisi dan tak ayal lagi segera saja rusdi diciduk, digiring ramai-ramai ke kantor polisi. Ngenas betul. Saya sangat prihatin, apalagi saya mengetahui jelas duduk perkaranya, bahwasanya rusdi dan marni itu kabur atas dasar suka sama suka. Dan tentu saja saya nggak berani mengatakannya kepada mustopa, bisa-bisa kepala saya dibacoknya.
Ngenas betul nasib si rusdi. Gara-gara cinta dia dipenjara. Setiap saya menjenguknya, dia nangis-nangis, bukan lantaran masuk penjara, melainkan kangen sama si marni. Begitu juga si marni, kabarnya dia tak mau makan dan mengurung diri di kamar semenjak rusdi dibui. Segala cara dilakukan mustopa agar anaknya itu mengubah perilakunya, tetapi rupanya selalu gagal dan gagal. Akhirnya, mustopa nyerah dan menuruti kemauan anaknya itu.
Hingga pada waktu yang telah disepakati, rusdi dan marni dikawinkan. Nampak meriah sekali acaranya. Saya terharu, senang sekaligus sedih juga. Setelah acara pernikahan selesai, rusdi digelandang lagi ke kantor polisi, sesuai ketentuan yang telah disepakati juga. Rusdi nangis keras-keras, marni semaput, mustopa tak dapat berbuat apa-apa, dan saya sendiri melongo menahan kelu yang teramat sangat di tenggorokan saya.

Motor, Oh Motor



Dalimin sedang bingung  dan membingungkan diri. Sebagai seorang teman tentu saya tidak bias berdiam diri melihat dia manyun terus begitu. Saya coba menerka-nerka kiranya apa yang sedang dia pikirin, dan kesimpulan saya bermuara pada satu titik, apalagi kalau bukan maslaah duit. Secara, dia kan sering pinjem duit sama saya. Mungkin itu kebingungan yang dibuat-buat biar saya melihatnya iba terus saya menawarkan diri untuk meminjamkan uang lagi, ah, laknat benar pikiran saya ini.
“min, kenapa kau ini, aku liat dari tadi kok manyun terus, tambah jelek muka kau itu” kata saya mencoba berbaik hati, bukankah saya ini temannya.
“ anu rus ,… aku …”
“ gak punya duit, terus malu mo pinjem sama saya, … ah kau anggap aku apa, aku kan temanmu, tak usah malu-malu lah, berapa?” cegat saya
“ bukan rus, bukan itu, saya punya suatu keinginan yang mungkin tak akan pernah terwujud” ujar dalimin masih dengan muka lesu dan tak enak sekali dilihat.
“apa itu min, katakan saja barangkali saya bias bantu” tawar saya
“ ah, malu saya mengatakannya … sudahlah biar aku kubur saja keinginan saya itu, saya pergi dulu rus mau narik becak” kata dalimin lantas pergi begitu saja
Kurang ajar betul dalimin itu, tak mau menceritakan apa keinginannya, eh main ngacir aja. Kurangajarnya lagi terkaan saya meleset 180 derajat, ah, peduli amat, pengen apa kek itu kan urusan dia. Tetapi, ternyata perasaan saya tidak dapat dibohongi, saya ini kan seorang teman, tentu harus ngerti temannya, apalagi dalam kondisi kebingungan begitu. Tak enak hati saya. Lantas saya pun segera menyusul dalimin ke rumahnya.
Sesampai dirumahnya, saya tidak menjumpai batang congor dalimin, Cuma ada istri dan anaknya yang seemprit itu. Tak kurang akal, saya pun mengorek keterangan perihal manyunnya muka dalimin.
“ surti, suami kau kenapa itu, saya liat kok manyun mulu?” tanya saya kepada surti
“ iya kang rus, sudah tiga malam kang dalimin tak enak tidur, juga tak enak makan, dia ngomong sama saya kalau dia kepengen punya motor kayak orang-orang” tutur istri dalimin sembari menyusui anaknya yang seemprit itu.
“hah, … kepengen punya motor” teriak saya sembari membuang pandangan ke arah lain  karena di depan saya itu jelas pemandangan yang tak enak ditonton: payudara istri dalimin yang kendur dan item saat menyusui anaknya. Tak ada napsu acan-acan saya melihatnya.
Kekagetan saya itu cukup beralasan kuat. Bagaimana mungkin dalimin bias beli motor, walaupun kredit sekali pun, untuk menghidupi keluarganya sehari-hari saja kadang ngutang sama saya, terus ngembaliinnya nauzubilah lamanya. Saya tertawa geli, dalam hati saja, tak enak kalau-kalau diliat istri dalimin, malulah dia.
“ ya, sudahlah, saya akan cari dalimin, kali saya saya bias bantu dia” kata saya, lantas ngloyor begitu saja
Rupanya tuhan benar-benar mengabulkan omongan saya tadi, walalupun sebenarnya itu Cuma basa-basi. Di sebuah perempatan, Nampak congo dalimin sedang tidur-tiduran di becaknya.
“ ah, disini rupanya kau min, saya sudah tau apa keinginanmu min” kata saya
Dahi dalimin berkerenyit, alisnya naik turun, jakunnya juga naik turun menelan ludah.
“ tau dari mana kamu, rus?” tanya dalimin separo kaget
“dari istri kau, min, dia udah ngejelasin semuanya, kau ingin punya motor, kan”
“ah, udahlah rus, sekarang saya nggak napsu lagi, kalau kepengen naik motor nanti saya pinjem motor kamu aja ya rus” katanya dengan nada loyo.
Lagi-lagi perasaan saya teraduk aduk berkecamuk. Tak tega saya melihat teman sengsara begitu, tapi lebih tak tega lagi kalau nanti motor saya setiap hari dipinjem dalimin. Puter-puter otak, saya pun nemu solusinya.
“ begini saja min, bagaimana kalau kau ikut lomba rias becak kau itu, kebetulan kemarin saya liat di kabupaten ada pengumuman lomba “pelestarian asset tradisional”, nah kan cocok tuh” tukas saya berapi-api biar dalimin ikutan semangat dan ternyata betullah dugaan saya, mata dalimin Nampak menyala-nyala. Dia nampak manggut-manggut, kemudian senyum, semangat lagi, senyum lagi, entah apa yang sedang ada di otaknya.
“ siip …” kata dalimin penuh semangat
“tapi, saya tidak ada modal buat beli alat-alat riasnya, rus” sambungnya, semangatnya sedikit melemah
“ah, gampang itu, kau tidak usah mikirin soal itu, nanti aku bantu, ya aku bantu, min” kata saya walaupun setelah mikir-mikir, rasanya tidak sedikit uang yang dikeluakan buat beli alat-alat rias. Ah … sial betul, tapi nasi udah jadi bubur, saya telanjur mengatakannya mau bantu dia.
Keesokan harinya, saya pun sibuk belanja alat-alat buat ngrias becaknya dalimin. Nyesel juga saya, tapi ini demi seorang teman biar mukanya nggak manyun terus. Lagi pula toh ini sesuatu yang mulia. Mungkin sampai kiamat pun dalimin nggak akan mampu beli motor dari hasil jerih payahnya, dan jika seandainya dia menang lomba dan dapat motor, tentu sayalah orang yang dianggap paling berbaik hati dan mulia di matanya.
Pada hari itu juga, saya dan dalimin sibuk ngrias becak, pita-pita berwarna warni, karton-karton, dengan bagusnya nemplok di becak dalimin. Giranglah dia, saya pun turut senang. Lantas, kami un segera bergegas menuju pendopo kabupaten. Di sana rupanya sudah berkumpul orang-orang dengan berbagai macam benda yang dikutlombakak. Sebagian ada yang senyum-senyum melihat saya dan dalimin, kalau saya lihat senyumnya nggak enak banget. Saya terus memberi semangat kepada dalimin, walaupun sebenarnya risih juga, becak butut yang dirias ikut lomba, mana mungkin menang. Ah, saya segera saja membuang pikiran itu, yang terpenting saya sudah berusaha buat teman saya ini. Setelah semua peserta lomba terkumpul dengan bendanya maka segera saja dewan juri menilainya. Terus terang saja saya ketar-ketir, apalagi melihat dalimin melototin motor keluaran terbaru yang sebagai hadiah itu. Deg-degan sekali hati saya kalau-kalau tidak menang, kecewalah dia, atau mungkin bisa saja saya dipecat jadi temannya. Ah, berdoa-berdoa saja jalan satu-satunya. Mulut saya langusng komat-kamit, dalimin heran, mulut dia pun juga menyusul komat-kamit.
Dua jam berlalu, tibalah keputusan pemenang dari lomba ini. Saya dan dalimin berpandangan satu sama lain, sembari tak lupa komat-kamit saya percepat. Siapapun dalam keadaan seperti ini pasti deg-degan sekali, tak terkecuali saya dan dalimin. Jantung saya berdegup kencang sekali, kaki saya juga gemetaran. mata pun jadi merem melek. Dewan juri pun memutuskan pemenang ketiga dengan hadiah lemari es yang ternyata dimenangkan orang bernama suwito, jantung saya semakin cepat degupnya, menyusul diumumkan pemenang kedua dengan hadiah televise lcd 32 inch dimenangkan oleh orang dengan nama daliman … ah nyaris, saya kira dalimin ternyata namanya hampir mirip Cuma beda vokalnya akhirnya saja. Sementara itu, saya melihat dalimin dengan semangat yang menyala nyala dan harap cemas yang begitu hebat melirik motor keluaran terbaru it terus. Perih hati saya. Tibalah pengumuman pemenang pertama dengan hadiah sepeda motor. Saya rasanya ingin lari saja, dalimin mencengkeram erat tangan saya.
“Pemenang pertama adalah…” juri belum sempat melanjutkan karena hapenya melengking-lengking. Baru setelah hape itu diangkat dan pembicaraan selesai, juri segera duduk lagi.
“pemenang pertama adalah DA – LI –MIN “ teriak juri sembari bertepuk tangan riuh.
Dalimin jingkrak-jingkrak, dan saya hampir saja semaput.  Saya senang sekali, akhirnya saya  bias mewujudkan keinginan dalimin. Sorenya motor pun diboyong ke rumah dalimin, tentu saja dengan becaknya. Selesai sudah tugas saya membuat lenyap muka manyun dalimin. Karena ada keperluan saya segera pulang ke rumah, tidak ikut merayakan kebahagiaan dalimin dan keluarganya. Dengan begitu saja, kebahagiaan saya rasanya tak terbayar kok.
Pagi buta, kalau nggak salah masih subuh barangkali, saya dikagetkan seseorang, yang ternyata dalimin. Dalam keadaan ngantuk yang teramat sangat, dalimin terus membangunkan saya.
“ rus, bangun rus, bangun … bangun, rus,…motor saya ilang, motor saya ilang”